Pacaran adalah hubungan antara pria dan wanita yang diwarnai keintiman dimana satu sama lain terlibat dalam perasaan cinta dan saling mengakui pasangannya sebagai pacar. Melalui berpacaran seseorang akan mempelajari mengenai perasaan emosional tentang kehangatan, kedekatan dan berbagi dalam hubungan dengan orang lain. Salah satu tugas perkembangan dewasa muda adalah berkisar pada pembinaan hubungan intim dengan orang lain. Salah satu fenomena yang saat ini semakin banyak muncul pada hubungan berpacaran adalah kekerasan dalam pacaran (KDP).
Kekerasan Dalam Pacaran yang sebagian besar korbannya adalah perempuan ini sering diakibatkan adanya ketimpangan antara laki-laki dan perempuan yang dianut oleh masyarakat luas pada umumnya.
Perempuan menurut pandangan laki-laki biasanya dianggap sebagai makhluk yang lemah, penurut, pasif, sehingga menjadi alasan utama terjadinya perlakuan yang semena-mena..
dan diantaranya beberapa macam kekerasan dalam berpacaran yaitu:
Dari segi fisik misalnya memukul, menendang, ataupun mencubit, untuk segi mental biasanya, cemburu yang berlebihan, pemaksaan, dan perlakuan kasar di depan umum,” katanya.
Dari segi ekonomi, kekerasan juga bisa terjadi. Misalnya, ada pasangan yang sering meminjam uang atau barang tanpa pernah mengembalikan.
Dari segi psikologis misalnya bila pacarmu suka menghina kamu, selalu menilai kelebihan orang lain tanpa melihat kelebihan kamu, , cemburu yang berlebihan dan lain sebagainya
Sedangkan dari segi seksual adalah pasangan yang memaksa pasangannya untuk melakukan hubungan seksual, pemerkosaan dlsb.
Tiga Kasus Kekerasan dalam Pacaran :
Kasus pertama: D, 23 tahun.
“Pacar kedua saya yang saya kira sangat baik dan sopan, ternyata sangatlah abusive. Hal itu sebelumnya tidak diketahui sampai akhirnya setelah 3 bulan pacaran dan ada konflik ringan, dia mulai menyiksa dirinya sendiri, awalnya hanya dengan mencakar muka dan bajunya sampai robek, lalu memukul tembok, sampai membentur-benturkan kepalanya ke dinding dengan keras. Setelah itu, frekuensi dan derajat kekerasan meningkat. Selain menarik-narik tangan saya jika sedang memaksakan atau mengajak pergi ke suatu tempat, ia juga mulai mendatangi rumah saya dan menggedor-gedor pintu kamar serta jendela saya dengan paksa. Syukurlah waktu itu ada tetangga saya yang menolong saya dengan cara duduk di ruang tamu sampai pacar saya itu pulang. Kalau tidak, saya tidak tahu apa yang akan dilakukannya pada saya, padahal, pembantu saya sampai pulang ke rumahnya saking ketakutannya.”
“Kekerasan terhebat yang pernah saya alami dan bahkan sampai menyebabkan hampir hilangnya nyawa saya adalah setelah 2,5 tahun pacaran dengan frekuensi putus-sambung yang sangat sering. Saat itu, sesudah saya putuskan dia, saya datang ke rumahnya membawa buku kuliahnya yang tertinggal di mobil saya. Lalu dia mulai memukul meja marmer yang keras sampai pecah, juga lemari. Setelah itu, dia menarik kerah baju saya, melemparkan saya ke dinding dan saat saya terbaring di lantai, dia menginjak dada saya dengan kakinya sampai saya tidak bisa bernapas dan pingsan. Sesaat sebelum pingsan dia masih membekap muka saya dengan benda lunak (kemungkinan bantal). Syukurlah tidak begitu lama dibekap olehnya, kalau lama mungkin saya sudah tiada.”
“Saya tersadar saat dia kembali melemparkan saya ke dinding untuk yang kedua kalinya sampai badan dan lengan saya memar. Saya berusaha meminta bantuan teman-temannya yang laki-laki untuk menolong saya namun dengan santainya mereka bilang bahwa itu bukan urusan mereka. Bagaimana mungkin, satu nyawa terancam dan mereka yang menyaksikannya tidak tergerak sedikitpun untuk menolong. Sungguh pengalaman tragis yang tidak pernah akan terlupakan oleh saya.”
“Memang orangtuanya anggota militer dan pernah melakukan kekerasan pada anaknya hanya karena anaknya sulit tidur malam. Mungkin hal inilah yang direkam di alam bawah sadarnya sampai besar dan berdampak pada perlakuannya kepada orang lain. Atau mungkin juga karena terlalu seringnya dia dipukuli oleh orangtuanya, akibatnya dia jadi ketagihan untuk disakiti orang. Namun di depan semua orang, termasuk saya, sikapnya sangatlah baik dan sopan, apalagi jika diputuskan, dia akan memohon-mohon agar saya mau kembali padanya. Apapun dilakukannya demi tercapainya keinginannya, mulai dari memberikan bunga yang sangat indah, sampai duduk berjam-jam di depan rumah saya agar hati saya luluh dan bersedia menjadi pacarnya kembali. Sayapun bersedia menjadi pacarnya kembali hanya agar saya tidak diteror di kampus. Namun setelah 2,5 tahun pacaran, akhirnya saya memutuskan dia, karena sudah tidak tahan lagi dengan perilakunya itu.”
Kasus kedua: R (28 tahun).
“Pacar saya sangatlah posesif. Hanya 4 bulan saja masa pacaran terasa indah, sisanya mulai keluar watak aslinya, yaitu temperamental. Jika ada hal-hal yang tidak sesuai dengan kehendaknya maka dia akan mulai marah besar, dengan cara membanting barang pecah belah di kamar kosnya sampai dia harus membeli piring dan gelas setiap minggu sekali. Dan memasuki tahun kedua, mulailah ringan tangan. Bahkan pernah kedua lengan saya dipegang erat-erat dan digoncang-goncangkan saat ia marah besar sampai menyisakan tanda biru legam di lengan saya berhari-hari.”
“Perilaku posesif ditunjukkan dengan kontrol yang ketat, dia harus tahu kemanapun saya pergi dan dengan siapa. Bahkan pernah suatu ketika ia sedang berada di luar kota, namun saya tidak berani pergi ke manapun karena takut jika ia menelepon ke tempat kos saya dan saya tidak ada, maka ia bisa marah besar. Saya hanya berani berdiam diri di kamar sambil ketakutan.”
“Hal paling buruk yang saya alami adalah pada saat kami sudah pacaran selama 2 tahun dan terjadi miskomunikasi yang menyebabkan kami tidak bertemu di suatu tempat. Saat datang ke kos saya, tanpa bicara dia langsung menampar saya dan kami bertengkar hebat sesudahnya.”
Sesudah kejadian itu, R mengalami rasa takut yang luar biasa tiap bertemu pacarnya itu. Ketakutan ini ternyata berdampak pada fisiknya. Memang R dapat dikatakan tidak menderita sakit fisik, tetapi sakit di hatinya menyebabkannya tidak mampu bangun dan berjalan, sampai dia harus menemui 4 orang dokter spesialis, yaitu dokter saraf, ahli jantung, psikiater dan penyakit dalam dan mereka semua menganjurkan R untuk menghilangkan penyebab sakitnya itu, yaitu memutuskan pacarnya. Namun berat bagi R untuk memutuskan pacarnya, karena setiap diputuskan, maka dia akan memohon-mohon untuk kembali. Akhirnya, setelah 3 tahun pacaran, R berani memutuskan hubungan mereka dan setelah itu R menjadi pasien tetap seorang psikolog sampai 1 tahun lamanya untuk menyembuhkan luka hatinya yang teramat dalam (bahkan sampai 4 tahun lamanya setelah mereka putus, masih terasa sakit hatinya). Sampai saat inipun dia masih trauma dan ingin marah bila bertemu dengannya.
Kasus ketiga: A, 27 tahun
Hampir serupa dengan kasus R, A pernah mempunyai pacar yang sangat posesif. Selama 5 tahun mereka berpacaran, pacarnya sangat mengekang kebebasan A. Kemanapun A pergi, pacarnya harus diberitahu dan jika terlambat sampai di rumah, maka pacarnya akan marah besar. Hampir serupa dengan kasus D, jika mereka mengalami konflik, maka pacarnya akan menyiksa dirinya sendiri dengan cara membentur-benturkan kepalanya ke tembok atau setir mobil. Dia bahkan mengancam jika A tidak memaafkan dirinya, maka pacarnya itu akan bunuh diri. Setelah mereka putus pun, pacarnya kerap menggedor-gedor pagar rumah A sampai tetangga keluar dari rumahnya dan bertanya-tanya ada apa gerangan.
Pengalaman traumatik itu masih membekas di dirinya, sampai sekarang A masih sangat takut untuk menemui mantan pacarnya itu, bahkan saat mereka bertemu dalam salah satu acara pernikahan teman mereka pun, A langsung pucat, gemetar dan hampir pingsan. Padahal saat itu mereka sudah putus sekitar 2 tahun dan A sudah menikah dengan orang lain.
Dari ketiga contoh berikut..
Apa yang Harus Dilakukan Jika Menjadi korban :
Kita berhak atas tubuh dan jiwa kita, tak seorangpun berhak menganggu-gugat.
-Meski saling cinta, tidak berarti pasangan boleh bertindak semau gue terhadap kita.
-Harus berani menolak dan berkata TIDAK jika si dia mulai melakukan kekerasan.
-Hati-hati terhadap rayuan dan janji-janji manis si dia.
-Jika ada perjanjian, buatlah secara tertulis dengan dibubuhi materai dan disertai saksi.
-Jika menjadi korban, kita berhak kok, merasa marah, kuatir dan merasa terhina.
-Laporkan ke polisi atau pihak berwenang lain, jika mengalami kekerasan.
Mintalah Lembaga Bantuan Hukum untuk mendampingi.
Siapapun pelaku kekerasan dapat dihukum
Sedekat apapun hubungan kita dengan si pelaku kekerasan, ia tetap dapat dihukum,
maka segeralah melapor ke kepolisian jika menjadi korban.
Jangan kawatir, sudah ada kok pasal-pasal yang bisa diterapkan.
-Jika harus ke Pengadilan. HARUS SIAP MENTAL saat berhadapan dengan aparat kepolisian atau pengadilan
Untuk itu, para remaja harus mewaspadai bibit-bibit kekerasan yang terjadi dalam hubungan mereka, sehingga apabila bibit tersebut mulai terlihat, maka kita harus mampu mengambil sikap yang tegas.
INGAT, TAK SEORANGPUN BERHAK MENJADIKAN KITA OBJEK KEKERASAN
Walaupun semua perempuan yang mengalaminya sudah menikah dengan orang lain, namun KDP menyisakan luka hati yang sangat dalam dan butuh waktu penyembuhan yang lebih lama daripada sakit fisik.